BANDA ACEH,
Aceh News - Indonesia dikenal sebagai Negara yang mempunyai
sumberdaya alam yang berlimpah, baik yang ada di darat maupun di laut. Kekayaan
alam ini seharusnya bisa membuat bangsa ini menjadi bangsa yang terkemuka dan
makmur secara ekonomi. Namun, realitas memperlihatkan wajah yang bertolak
belakang, dimana kemiskinan dan keterbelakangan tetap menjadi keseharian
mayoritas masyarakatnya. Tentu ada yang salah dalam pengurusan bangsa ini.
Salah satu yang
salah adalah dalam hal pengurusan dan pemanfaatan sumberdaya alam laut dan
pesisir, termasuk di Aceh, yang menyebabkan kehidupan nelayan tidak pernah
beranjak menjadi lebih baik. Kajian Pusat Studi Hukom Adat Laot dan Kebijakan
Perikanan Unsyiah memperlihatkan bahwa lebih dari 70% nelayan Aceh merupakan
buruh nelayan dan hidup dalam kemiskinan. Buruh nelayan ini merupakan mereka
yang tidak memiliki alat tangkap, melainkan hanya menjadi buruh pada sebagian
kecil pemilik modal/alat tangkap yang notabene bukan berprofesi sebagai
nelayan.
Ketua Pusat Studi
Hukom Adat Laot dan Kebijakan Perikanan Unsyiah M. Adli Abdullah mengatakan
bahwa selain berada dalam kemiskinan, nelayan Aceh juga kurang mendapat
perlindungan ketika ditangkap oleh berbagai negera tetangga karena berbagai.
“Banyak nelayan kita yang mencari nafkah melewati batas dan ditangkap di negeri
tetangga. Sayangnya, perlindungan hukum kepada mereka sangat lemah oleh
pemerintah”, tambah Adli. Seharusnya perwakilan pemerintah di luar negeri perlu
memberi perhatian khusus terhadap nelayan-nelayan yang bermasalah secara hukum
di negeri tetangga.
Sementara Dr.
Taqwaddin Husein, SH menyebutkan bahwa kebijakan pemerintah dalam pengelolaan
sumberdaya alam pesisir masih memihak kepada pemilik modal dibandingkan kepada
masyarakat hukum adat. “Kekuatan modal memang sangat menguasai pengelolaan
sumberdaya alam kita, termasuk wilayah pesisir”, terang Taqwaddin. Kita
bersyukur bahwa kebijakan pemerintah tentang bagian HP3 (Hak Pengusahaan
Perairan Pesisir) yang tercantum dalam UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi
(MK). Kalau HP3 ini jadi dilaksanakan, maka masyarakat adat dan nelayan kita
akan tersingkir dari wilayahnya.
Ahli kelautan Unsyiah
Dr. Mukhlisien menambahkan bahwa kemiskinan dan keterbelakangan nelayan dan
masyarakat pesisir di Aceh disebabkan karena mereka bukan pemilik sumberdaya,
melainkan hanya sebagai pekerja kepada mereka yang memiliki modal. Karena itu,
Mukhlisin menyarankan kepada Pemerintah untuk memberi perhatian khusus kepada
masyarakat nelayan ini. Apalagi, lanjut Mukhlisin, nelayan Aceh kini juga
menghadapi tantangan yang lebih berat seperti pemanasan global yang menyebabkan
jumlah dan spesies ikan di laut menurun.
Sayangnya, tambah
pengajar kelautan Unsyiah ini, Pemerintah setiap tahun justru mempunyai proyek
penambahan kapal dan alat tangkap. Seharusnya, pemerintah melakukan modernisasi
kapal dan alat tangkap yang sudah ada, serta meningkatkan kapasitas nelayan sehingga
upaya peningkatan produksi perikanan bisa dilakukan dan tidak menyebabkan
overfishing.
Untuk memperkuat
perlindungan kepada nelayan tradisional Aceh, upaya peguatan hukum adat menjadi
penting dilakukan. Peneliti PUSHAL-KP Unsyiah Sulaiman Tripa menekankan
pentingnya pemerintah mendukung upaya revitalisasi hukum Adat Laot sebagai
bagian dari norma hukum yang ada di masyarakat pesisir. Dengan kuatnya hukum
Adat Laot yang dianut dan dijalankan oleh masyarakat, maka masyarakat adat akan
dapat menghadapi tantangan dan berbagai jenis pelanggaran yang tidak bisa
ditangani oleh hukum positif. Misalnya dalam hal penggunaan alat tangkap yang
merusak lingkungan, dan sebagainya.
Melihat tantangan yang dihadapi oleh masyarakat
nelayan begitu berat, forum diskusi tersebut sepakat memberikan beberapa
rekomendasi kepada Pemerintah antara lain, pemerintah harus memberi perhatian
serius untuk menangani kemiskinan melayan yang umumnya disebabkan oleh ketimpangan
dalam pemilikan sumberdaya, pemerintah harus memberi perlindungan yang lebih
serius terhadap nelayan-nelayan Aceh yang berhadapan secara hukum di negeri
tetangga, perlu adanya perbaikan dalam tata pemerintahan (good governance)
dalam pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan perikanan, baik dalam hal
pengelolaan, penganggaran dan pengawasan, perlu adanya penguatan peran
masyarakat adat dan kelembagaan adat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan
perikanan Aceh. (Md)