Headlines News :
Home » , , » “Berbenah Menuju Aceh Besar yang Lebih Baik”

“Berbenah Menuju Aceh Besar yang Lebih Baik”

Written By ichsan on Senin, 16 Juli 2012 | 22.23


Kenduri raya demokrasi yang telah di ikuti oleh seluruh rakyat Aceh untuk memilih gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati maupun walikota/wakil walikota di sejumlah daerah di Aceh. Kenduri yang dilaksanakan pada 9 April 2012 tersebut, telah melahirkan pemimpin baru yang diharapkan mampu membawa perubahan bagi daerah.

Petani, nelayan, pedagang, buruh kasar dan lainnya kembali menggantungkan harapan pada "wajah-wajah" baru yang sebagian telah akrab dengan alam demokrasi dan sebagian lagi masih menjalin benang-benang kusut demokrasi. Tentu saja harapan-harapan ini diharapkan mampu menjawab kebuntuan arus pembangunan demokrasi yang pro rakyat selama pemerintahan sebelumnya.

Pasangan Muklis Baysah-Syamsurizal terpilih sebagai Bupati-Wakil Bupati Aceh Besar pada pilkada 9 April 2012 lalu. Komisi Independen Pemilihan (kip) Aceh Besar, Sabtu 14 April 2012 menetapkan pasangan nomor urut tujuh ini sebagai pemenang dengan perolehan suara 53.789 (30,16%)

Kabupaten Aceh Besar yang beribukota di daerah Jantho dan terletak di kaki gunung Seulawah ini mempunyai penduduk 373.178 jiwa dengan latar belakang masyarakatnya mayoritas petani dan nelayan.  

Sedangkan untuk jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Pemilukada 2012 per-tanggal 01 Maret 2012 sebesar 250.380 pemilih, sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. I/SKLN-X/2012, tertanggal 27 Januari 2012. Akibat putusan MK, DPT ini mengalami sedikit penambahan dari sebelumnya DPT yang ditetapkan per-tanggal 03 Januari 2012 sebesar 248.642 pemilih.

Masyarakat pinggiran Kota Banda Aceh ini sebagian besarnya bermata pencaharian di bidang pertanian dan nelayan sudah mempraktekkan prinsip-prinsip demokrasi dalam hal sederhana misalnya sudah adanya struktur adat dengan tugas dan fungsi masing-masing yang diwariskan secara lisan bukan dalam bentuk tertulis seperti qanun.
Sebut saja misalnya untuk mengurusi hutan sudah ada “pejabatnya” yang bergelar pawang uteun yang mengurusi tata cara menggunakan lahan hutan dan tatacara ini disampaikan kepada masyarakat umum melalui musyawarah gampoeng. Begitupun dengan “keujreun Blang” yang tugas dan fungsinya untuk mengatur proses bercocok tanam, mulai dari kapan waktunya turun ke sawah dengan merujuk pada perbintangan maupun mekanisme pembagian air untuk setiap petak sawah.

Praktek hidup berdemokrasi menjadi keseharian masyarakat Aceh Besar mulai dari Lampanah Lengah di perbatasan dengan Kabupaten Pidie hingga Lhoong di perbatasan dengan Aceh Jaya butuh dituangkan dalam peraturan atau qanun tingkat gampoeng agar proses transfer pengetahuan antar generasi tidak hilang begitu saja.

Berangkat dari realitas sederahana di atas ada banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh Bupati/wakil bupati terpilih agar kelanjutan pembangunan demokrasi di Aceh Besar

Menurut beberapa tokoh adat dan agama, secara turun temurun masyarakat Aceh Besar sudah memiliki resam (aturan gampoeng) yang merupakan aturan yang tidak tertulis dalam menjalankan hidup sehari-hari namun resam ini berbeda untuk setiap gampoeng berdasarkan kesepakatan masing-masing gampoeng. 

Mengenai penerapan Syariat Islam, memuat resam gampoeng untuk proses normalisasi atau mempercepat proses penuntasan masalah seperti pelanggaran Syariat Islam dengan resam, misalnya jika terjadi kekerasan ditingkat masyarakat, pengarakan dan kekerasan fisik lainnya diatur proses penyelesaiainnya dengan kearifan local setempat namun hal ini kadang terkendala dengan hukum positif karena aturan tersebut tidak disosialisasikan oleh pemerintah daerah kepada pihak penegak hukum. Padahal upaya sosialisasi tersebut sangat penting agar ada mekanisme yang bisa mengontrol pelaksanaannya oleh para pihak.

Padahal secara peraturan pemerintah dalam Qanun nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dan Qanun nomor 9 Tahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Aceh Jangka Panjang telah dijelaskan mekanisme untuk membentuk qanun kabupaten, qanun gampoeng atau resam, namun pemerintah belum membuat aturan detil untuk mekanismenya. 

Misalnya bagaimana jika pemerintah menghentikan dana Anggaran Dana Gampoeng (ADG) dan Bantuan Keuangan Peumakmu Gampoeng (BKPG) padahal masyarakat belum mempunyai aturan baku untuk membiayai operasional gampoeng padahal selama ini masyarakat bergantung pada kucuran dana tersebut.

Selama ini pemerintah dianggap belum mensosialisasikan tentang mekanisme bagaimana menghitung harta kekayaan gampoeng sehingga ini dapat membuat masyarakat dapat mandiri mengelola penganggaran gampoeng ketika ADG dan BKPG berakhir. 

Meskipun Qanun mukim telah ada namun implementasinya belum bisa dijalankan secara maksimal karena sosialisasinya masih sangat minim, seluruh aturan dan perangkat gampoeng seharusnya sudah disiapkan untuk dapat membangun demokrasi di tingkat gampoeng untuk penguatan demokrasi dari tingkat gampoeng, tentu saja semuanya sejalan dengan konteks Syariat Islam.

Kondisi peraturan di tingkat gampoeng selama ini masih belum tertib karena belum adanya qanun di tingkat gampoeng, semua proses tata kelola pemerintahan tingkat gampoeng masih mengambil keputusan sesuai dengan keputusan rapat dadakan yang diadakan oleh structural tingkat gampoeng. 

Berdasarkan paparan salah seorang Sekretaris mukim, Fuadi, sosialisasi selama ini terkendala dengan anggran yang minim tersedia, misalnya saja saat ini Majelis Adat Aceh (MAA) sedang menggodok resam gampoeng di salah satu desa sebagai pilot project namun hal ini belum sampai informasinya ke masyarakat luas karena terkendala anggaran.

Dan kendalanya bukannya hanya dianggaran dan sosilasisasi ke masyarakat luas namun juga kepada aparat penegak hukum sehingga koordinasi dalam implementasi resam gampeong antara structural gampoeng dan aparat penegak hukum dapat berjalan dengan baik. Sosialisasi ini minimal dengan adanya tembusan dari Pemerintah Daerah yang telah mengesahkan resam tersebut. Sehingga ini juga bisa singkron dengan program Kemitraan Polisi dan Masyarakat. Dan yang terpenting dari sebuah resam adanya sanksi hukum adat atau sanksi sosial sehingga peraturan tersebut efektif untuk diterapkan.

Persoalan lainnya yang sering terjadi adalah tidak semua struktural ditingkat gampoeng memahami mekanisme koordinasi antara masing-masing pemangku kepentingan tersebut, seperti pemuda, aparatur gampoeng, tuha peut, mukim dan aparatur gampoeng lainnya sehingga struktural tersebut terkesan tidak berfungsi dengan baik. Begitu juga dengan koordinasi yang tidak berjalan secara efektif.

Penerapan Syariat Islam masih bersifat slogan dan sejumlah tiga qanun yang merumuskan mekanisme penerapan Syariat Islam masih sekedar lip service, seharusnya sebagai salah satu aspek yang tercantum dalam agenda demokrasi khususnya bidang agama maka perlu adanya implementasi berbasis aturan hukum untuk penerapan syariat islam secara menyeluruh.

Berangkat dari aturan resam Aceh secara turun temurun “Adat bak Poe Teumeureuhoem, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam Bak Laksamana” menunjukkan bahwa Aceh telah  menerapkan implementasi agenda demokrasi namun dengan bahasa local atau bahasa Aceh, sehingga istilah demokrasi menjadi hal baru yang dianggap belum dikerjakan. 

Salah satu penyebab hilangnya tradisi turun temurun tersebut adalah karena yang menjadi aparatur gampoeng bukan lagi orang-orang yang dianggap sebagai petua, namun banyak orang-orang yang belum mempunyai kemampuan adat dan agama diangkat menjadi Tuha Peut. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah adanya mekanisme yang mengatur perekrutan Tuha Peut dan perangkat desa lainnya.

Mekanisme pembangunan selama ini tidak ditunjang oleh pemahaman yang sama oleh legislatif dan eksekutif tentang agenda demokrasi sehingga pembangunan di Aceh Besar terkesan jalan ditempat, seharusnya ada lembaga yang menjembatani antara pemerintah dan masyarakat untuk menemukan ide bersama dan saling bersinergi dalam agenda pembangunan.

Contoh sederhana adalah dalam konsep pembangunan ekonomi Islam di tingkat gampoeng, misalnya setiap petani yang mempunyai hasil panen maka ada meknisme pembagian setiap kali panen untuk dana gampoeng, sehingga penerapan Syariat Islam secara bertahap menuju kepada demokrasi yang membawa kesejahteraan.

Metode ini bisa dimulai dengan pendekatan tokoh agama dan tokoh adat untuk kemudian melibatkan semua stakeholder di tingkat gampoeng. Dalam Undang-undang Pemerintah Aceh telah ditetapkan tentang keberadaan mukim yang mengelola dan mengatur dengan hukum adat, namun secara implementasi mukim hanya menjalankan fungsi administrative bukan fungsi politik.

Selama ini keberadaan mukim ibarat Kalender mati, barang ada tapi tidak bisa dipakai, sama seperti fungsi pemuda hari ini tidak ada fungsi maksimal. Sebut saja misalnya dalam setiap kasus, Wilayatul Hisbah (WH) hanya berjalan sendiri tidak mengajak pemuda gampoeng untuk fungsi pencegahan. Sehingga puluhan kasus pelanggaran syariat terjadi, padahal ini bisa diminimalisir dengan melibatkan unsur pemuda didalamnya.

Fenomena lainnya adalah proses hukuman cambuk yang tidak maksimal karena anggaran tidak ada, anggaran yang dikeluarkan untuk satu kali cambuk sejumlah 50 juta rupiah, belum lagi melihat bagaimana politisasi anggaran dana dalam penerapan Syariat Islam.

Untuk mewujudkan tata kebijakan penyelenggaraan Syariat Islam perlu adanya konsep penerapan Syariat Islam yang berbasis adat, cambuk menjadi solusi akhir. Sebut saja misalnya pihak Amnesty Internasional tahun 2011 pernah mengeluarkan statemen bahwa Syariat Islam melanggar Hak Azasi Manusia (HAM) dengan beberapa alas an yang mengikutinya. Salah satu solusi agar penyelenggaraan Syariat Islam adalah dengan kembali ke sanksi adat, karena sanksi social dengan penyelesaian dengan mekanisme adat lebih mempunyai efek jera.

Hal ini menjadi alas an kuat melihat bahwa dalam beberapa kasus yang melibatkan pejabat Negara, hukum cambuk tidak bisa dijalankan karena dalam aturan qanun tersebut diberikan ruang untuk melakukan banding, namun pihak Mahkamah Agung hingga saat ini belum mempunyai instrument hukum terkait proses banding dimaksud sehingga proses hukum terhenti ditengah jalan, ini tentu saja menimbulkan preseden buruk bagi penerapan Syariat Islam.

Bupati dan Wakil Bupati Aceh Besar kali ini harus  untuk merangkul semua lapisan masyarakat untuk membangun daerah itu sendiri. Semua lapisan masyarakat harus diberi peran untuk melakukan pembangunan terlepas mereka adalah lawan politik. Hal ini penting agar program kerja yang telah disusun tidak gagal ditengah jalan.

Selain itu, menempatkn tenaga-tenaga professional dan mengutamakan putra Aceh Besar dalam pemerintahan, tidak lagi diambil dari propinsi atau luar daerah, memanfaatkan sumber daya manusia  terbaik Aceh Besar yang selama ini sudah mengabdi untuk Aceh Besar.

Merealisasikn program-program pro rakyat; perbaikn ekonomi, irigasi, air bersih, pendidiakn dan keagamaan, dan lingkungan. Terutama menindaklanjuti program moratorium tambang yang telah diwacanakan oleh gubernur terpilih, Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Moratorium tambang di Aceh Besar menjadi penting untuk segera dilaksanakan mengingat fakta sebagian besar tambang-tambang bermasalah berada diwilayah otoritas Kabupaten Aceh Besar. Sebut saja misalnya PT. Lafarge Cement Indonesia (LCI) yang telah beroperasi sejak tahun 1980 di Kecamatan Lhoknga, sampai saat ini hanya mampu menyumbang Rp. 800 juta pertahun untuk APBD Aceh Besar, padahal sebuah usaha wallet milik rakyat mampu menyumbang Rp. 1 Milyar pertahun.

Jika meninjau dari daya serap tenaga kerja juga patut dipertanyakan karena tenaga lokal dari kabupaten Aceh Besar sangat minim. Bahkan perusahaan yang bermodal asing ini menyumbang kerusakan lingkungan yang sangat besar, mulai dari limbah cair yang dibuang ke laut, limbah udara berupa debu hasil pembakaran dan bahkan penyumbang penyakit Ispa untuk radius 5 kilometer disekeliling perusahaan.

Begitupun kisruh PT. Lhoong Setia Mining (LSM) berlokasi di Kecamatan Lhoong yang sampai saat ini belum menemukan titik temu mengenai izin beroperasi, namun perusahaan tetap mengeruk keuntungan secara illegal tanpa terkendali dan ini sangat merugikan Kabupaten Aceh Besar secara regulasi maupun financial. Seharusnya kehadiran perusahaan tambang dapat menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat di Kabupaten Aceh Besar, namun sampai saat ini karena tidak adanya regulasi yang tegas maka hanya perusahaan saja yang diuntungkan, sedangkan Aceh Besar sebagai pemilik asset bahan baku tidak dapat meningkatkan pendapatan daerah (PAD). Hal ini akan meningkatkan angka kemiskinan dan kerusakan yang tidak sebanding dengan keuntungan yang didapat.

Galian C yang beroperasi di sepanjang sungai  dan gunung-gunung di Kabupten Aceh Besar juga tidak terkontrol dengan baik, sehingga kerusakan akibat erosi tidak tertanggulangi. Galian C juga tidak menjadi penyumbang untuk PAD, walaupun sebagian besar galian C mengeruk keuntungan dari perut bumi Aceh Besar.

Agar semua perusahaan tambang dapat menjadi penyumbang bagi PAD untuk kesejahteraan rakyat Aceh Besar maka diperlukan segera moratorium tambang untuk menilai perusahaan-perusahaan yang layak untuk beroperasi. Proses ini sekaligus menjadi awal penyusunan regulasi yang tegas untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang akan dilakukan oleh perusahaan tambang hanya semata demi keuntungan perusahaan. 

               DITULIS OLEH; Raihal Fajri; Warga Aceh Besar

Share this article :
 
Support : Redaksi | Iklan | Copyright © 2011. Aceh News - All Rights Reserved
Modify by Arifa