Kenduri raya demokrasi yang telah di ikuti
oleh seluruh rakyat Aceh untuk memilih gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil
bupati maupun walikota/wakil walikota di sejumlah daerah di Aceh. Kenduri yang
dilaksanakan pada 9 April 2012 tersebut, telah melahirkan pemimpin baru yang
diharapkan mampu membawa perubahan bagi daerah.
Petani, nelayan, pedagang, buruh kasar
dan lainnya kembali menggantungkan harapan pada "wajah-wajah" baru yang
sebagian telah akrab dengan alam demokrasi dan sebagian lagi masih menjalin
benang-benang kusut demokrasi. Tentu saja harapan-harapan ini diharapkan mampu
menjawab kebuntuan arus pembangunan demokrasi yang pro rakyat selama
pemerintahan sebelumnya.
Pasangan Muklis Baysah-Syamsurizal
terpilih sebagai Bupati-Wakil Bupati Aceh Besar pada pilkada 9 April 2012 lalu.
Komisi Independen Pemilihan (kip) Aceh Besar, Sabtu 14 April 2012 menetapkan
pasangan nomor urut tujuh ini sebagai pemenang dengan perolehan suara 53.789
(30,16%)
Kabupaten Aceh Besar yang beribukota di
daerah Jantho dan terletak di kaki gunung Seulawah ini mempunyai penduduk
373.178 jiwa dengan latar belakang masyarakatnya mayoritas petani dan
nelayan.
Sedangkan untuk jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk
Pemilukada 2012 per-tanggal 01 Maret 2012 sebesar 250.380 pemilih, sesuai
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. I/SKLN-X/2012, tertanggal 27
Januari 2012. Akibat putusan MK, DPT ini mengalami sedikit penambahan dari
sebelumnya DPT yang ditetapkan per-tanggal 03 Januari 2012 sebesar 248.642
pemilih.
Masyarakat
pinggiran Kota Banda Aceh ini sebagian besarnya bermata pencaharian di bidang
pertanian dan nelayan sudah mempraktekkan prinsip-prinsip demokrasi dalam hal
sederhana misalnya sudah adanya struktur adat dengan tugas dan fungsi
masing-masing yang diwariskan secara lisan bukan dalam bentuk tertulis seperti
qanun.
Sebut saja
misalnya untuk mengurusi hutan sudah ada “pejabatnya” yang bergelar pawang
uteun yang mengurusi tata cara menggunakan lahan hutan dan tatacara ini
disampaikan kepada masyarakat umum melalui musyawarah gampoeng. Begitupun
dengan “keujreun Blang” yang tugas dan fungsinya untuk mengatur proses bercocok
tanam, mulai dari kapan waktunya turun ke sawah dengan merujuk pada perbintangan
maupun mekanisme pembagian air untuk setiap petak sawah.
Praktek
hidup berdemokrasi menjadi keseharian masyarakat Aceh Besar mulai dari Lampanah
Lengah di perbatasan dengan Kabupaten Pidie hingga Lhoong di perbatasan dengan
Aceh Jaya butuh dituangkan dalam peraturan atau qanun tingkat gampoeng agar
proses transfer pengetahuan antar generasi tidak hilang begitu saja.
Berangkat dari realitas sederahana di atas ada
banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh Bupati/wakil bupati terpilih
agar kelanjutan pembangunan demokrasi di Aceh Besar
Menurut
beberapa tokoh adat dan agama, secara turun temurun masyarakat Aceh Besar sudah
memiliki resam (aturan gampoeng) yang merupakan aturan yang tidak tertulis
dalam menjalankan hidup sehari-hari namun resam ini berbeda untuk setiap
gampoeng berdasarkan kesepakatan masing-masing gampoeng.
Mengenai
penerapan Syariat Islam, memuat resam gampoeng untuk proses normalisasi atau
mempercepat proses penuntasan masalah seperti pelanggaran Syariat Islam dengan
resam, misalnya jika terjadi kekerasan ditingkat masyarakat, pengarakan dan
kekerasan fisik lainnya diatur proses penyelesaiainnya dengan kearifan local
setempat namun hal ini kadang terkendala dengan hukum positif karena aturan
tersebut tidak disosialisasikan oleh pemerintah daerah kepada pihak penegak
hukum. Padahal upaya sosialisasi tersebut sangat penting agar ada mekanisme
yang bisa mengontrol pelaksanaannya oleh para pihak.
Padahal
secara peraturan pemerintah dalam Qanun nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan
Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dan Qanun nomor 9 Tahun 2009 Tentang Rencana
Pembangunan Aceh Jangka Panjang telah dijelaskan mekanisme untuk membentuk
qanun kabupaten, qanun gampoeng atau resam, namun pemerintah belum membuat
aturan detil untuk mekanismenya.
Misalnya bagaimana jika pemerintah
menghentikan dana Anggaran Dana Gampoeng (ADG) dan Bantuan Keuangan Peumakmu
Gampoeng (BKPG) padahal masyarakat belum mempunyai aturan baku untuk membiayai
operasional gampoeng padahal selama ini masyarakat bergantung pada kucuran dana
tersebut.
Selama ini pemerintah dianggap belum
mensosialisasikan tentang mekanisme bagaimana menghitung harta kekayaan
gampoeng sehingga ini dapat membuat masyarakat dapat mandiri mengelola
penganggaran gampoeng ketika ADG dan BKPG berakhir.
Meskipun Qanun mukim telah
ada namun implementasinya belum bisa dijalankan secara maksimal karena
sosialisasinya masih sangat minim, seluruh aturan dan perangkat gampoeng
seharusnya sudah disiapkan untuk dapat membangun demokrasi di tingkat gampoeng
untuk penguatan demokrasi dari tingkat gampoeng, tentu saja semuanya sejalan
dengan konteks Syariat Islam.
Kondisi
peraturan di tingkat gampoeng selama ini masih belum tertib karena belum adanya
qanun di tingkat gampoeng, semua proses tata kelola pemerintahan tingkat
gampoeng masih mengambil keputusan sesuai dengan keputusan rapat dadakan yang
diadakan oleh structural tingkat gampoeng.
Berdasarkan paparan salah seorang
Sekretaris mukim, Fuadi, sosialisasi selama ini terkendala dengan anggran yang minim
tersedia, misalnya saja saat ini Majelis Adat Aceh (MAA) sedang menggodok resam
gampoeng di salah satu desa sebagai pilot project namun hal ini belum sampai
informasinya ke masyarakat luas karena terkendala anggaran.
Dan
kendalanya bukannya hanya dianggaran dan sosilasisasi ke masyarakat luas namun
juga kepada aparat penegak hukum sehingga koordinasi dalam implementasi resam
gampeong antara structural gampoeng dan aparat penegak hukum dapat berjalan
dengan baik. Sosialisasi ini minimal dengan adanya tembusan dari Pemerintah
Daerah yang telah mengesahkan resam tersebut. Sehingga ini juga bisa singkron
dengan program Kemitraan Polisi dan Masyarakat. Dan yang terpenting dari sebuah
resam adanya sanksi hukum adat atau sanksi sosial sehingga peraturan tersebut
efektif untuk diterapkan.
Persoalan
lainnya yang sering terjadi adalah tidak semua struktural ditingkat gampoeng
memahami mekanisme koordinasi antara masing-masing pemangku kepentingan
tersebut, seperti pemuda, aparatur gampoeng, tuha peut, mukim dan aparatur
gampoeng lainnya sehingga struktural tersebut terkesan tidak berfungsi dengan
baik. Begitu juga dengan koordinasi yang tidak berjalan secara efektif.
Penerapan
Syariat Islam masih bersifat slogan dan sejumlah tiga qanun yang merumuskan
mekanisme penerapan Syariat Islam masih sekedar lip service, seharusnya sebagai
salah satu aspek yang tercantum dalam agenda demokrasi khususnya bidang agama
maka perlu adanya implementasi berbasis aturan hukum untuk penerapan syariat
islam secara menyeluruh.
Berangkat
dari aturan resam Aceh secara turun temurun “Adat bak Poe Teumeureuhoem, Hukom
Bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam Bak Laksamana” menunjukkan bahwa
Aceh telah menerapkan implementasi
agenda demokrasi namun dengan bahasa local atau bahasa Aceh, sehingga istilah
demokrasi menjadi hal baru yang dianggap belum dikerjakan.
Salah satu penyebab
hilangnya tradisi turun temurun tersebut adalah karena yang menjadi aparatur
gampoeng bukan lagi orang-orang yang dianggap sebagai petua, namun banyak orang-orang
yang belum mempunyai kemampuan adat dan agama diangkat menjadi Tuha Peut. Salah
satu upaya yang harus dilakukan adalah adanya mekanisme yang mengatur
perekrutan Tuha Peut dan perangkat desa lainnya.
Mekanisme
pembangunan selama ini tidak ditunjang oleh pemahaman yang sama oleh legislatif
dan eksekutif tentang agenda demokrasi sehingga pembangunan di Aceh Besar
terkesan jalan ditempat, seharusnya ada lembaga yang menjembatani antara
pemerintah dan masyarakat untuk menemukan ide bersama dan saling bersinergi
dalam agenda pembangunan.
Contoh
sederhana adalah dalam konsep pembangunan ekonomi Islam di tingkat gampoeng,
misalnya setiap petani yang mempunyai hasil panen maka ada meknisme pembagian
setiap kali panen untuk dana gampoeng, sehingga penerapan Syariat Islam secara
bertahap menuju kepada demokrasi yang membawa kesejahteraan.
Metode ini
bisa dimulai dengan pendekatan tokoh agama dan tokoh adat untuk kemudian
melibatkan semua stakeholder di tingkat gampoeng. Dalam Undang-undang
Pemerintah Aceh telah ditetapkan tentang keberadaan mukim yang mengelola dan
mengatur dengan hukum adat, namun secara implementasi mukim hanya menjalankan
fungsi administrative bukan fungsi politik.
Selama ini
keberadaan mukim ibarat Kalender mati, barang ada tapi tidak bisa dipakai, sama
seperti fungsi pemuda hari ini tidak ada fungsi maksimal. Sebut saja misalnya
dalam setiap kasus, Wilayatul Hisbah (WH) hanya berjalan sendiri tidak mengajak
pemuda gampoeng untuk fungsi pencegahan. Sehingga puluhan kasus pelanggaran syariat
terjadi, padahal ini bisa diminimalisir dengan melibatkan unsur pemuda
didalamnya.
Fenomena
lainnya adalah proses hukuman cambuk yang tidak maksimal karena anggaran tidak
ada, anggaran yang dikeluarkan untuk satu kali cambuk sejumlah 50 juta rupiah,
belum lagi melihat bagaimana politisasi anggaran dana dalam penerapan Syariat
Islam.
Untuk
mewujudkan tata kebijakan penyelenggaraan Syariat Islam perlu adanya konsep
penerapan Syariat Islam yang berbasis adat, cambuk menjadi solusi akhir. Sebut
saja misalnya pihak Amnesty Internasional tahun 2011 pernah mengeluarkan
statemen bahwa Syariat Islam melanggar Hak Azasi Manusia (HAM) dengan beberapa
alas an yang mengikutinya. Salah satu solusi agar penyelenggaraan Syariat Islam
adalah dengan kembali ke sanksi adat, karena sanksi social dengan penyelesaian
dengan mekanisme adat lebih mempunyai efek jera.
Hal ini
menjadi alas an kuat melihat bahwa dalam beberapa kasus yang melibatkan pejabat
Negara, hukum cambuk tidak bisa dijalankan karena dalam aturan qanun tersebut
diberikan ruang untuk melakukan banding, namun pihak Mahkamah Agung hingga saat
ini belum mempunyai instrument hukum terkait proses banding dimaksud sehingga
proses hukum terhenti ditengah jalan, ini tentu saja menimbulkan preseden buruk
bagi penerapan Syariat Islam.
Bupati dan Wakil Bupati Aceh Besar kali ini
harus untuk merangkul semua lapisan
masyarakat untuk membangun daerah itu sendiri. Semua lapisan masyarakat harus
diberi peran untuk melakukan pembangunan terlepas mereka adalah lawan politik.
Hal ini penting agar program kerja yang telah disusun tidak gagal ditengah
jalan.
Selain itu, menempatkn tenaga-tenaga
professional dan mengutamakan putra Aceh Besar dalam pemerintahan, tidak lagi
diambil dari propinsi atau luar daerah, memanfaatkan sumber daya manusia terbaik Aceh Besar yang selama ini sudah
mengabdi untuk Aceh Besar.
Merealisasikn
program-program pro rakyat; perbaikn ekonomi, irigasi, air bersih, pendidiakn
dan keagamaan, dan lingkungan. Terutama menindaklanjuti program moratorium
tambang yang telah diwacanakan oleh gubernur terpilih, Zaini Abdullah dan
Muzakir Manaf. Moratorium tambang di Aceh Besar menjadi penting untuk segera
dilaksanakan mengingat fakta sebagian besar tambang-tambang bermasalah berada
diwilayah otoritas Kabupaten Aceh Besar. Sebut saja misalnya PT. Lafarge Cement
Indonesia (LCI) yang telah beroperasi sejak tahun 1980 di Kecamatan Lhoknga,
sampai saat ini hanya mampu menyumbang Rp. 800 juta pertahun untuk APBD Aceh
Besar, padahal sebuah usaha wallet milik rakyat mampu menyumbang Rp. 1 Milyar
pertahun.
Jika
meninjau dari daya serap tenaga kerja juga patut dipertanyakan karena tenaga
lokal dari kabupaten Aceh Besar sangat minim. Bahkan perusahaan yang bermodal
asing ini menyumbang kerusakan lingkungan yang sangat besar, mulai dari limbah
cair yang dibuang ke laut, limbah udara berupa debu hasil pembakaran dan bahkan
penyumbang penyakit Ispa untuk radius 5 kilometer disekeliling perusahaan.
Begitupun
kisruh PT. Lhoong Setia Mining (LSM) berlokasi di Kecamatan Lhoong yang sampai
saat ini belum menemukan titik temu mengenai izin beroperasi, namun perusahaan
tetap mengeruk keuntungan secara illegal tanpa terkendali dan ini sangat
merugikan Kabupaten Aceh Besar secara regulasi maupun financial. Seharusnya
kehadiran perusahaan tambang dapat menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat
di Kabupaten Aceh Besar, namun sampai saat ini karena tidak adanya regulasi
yang tegas maka hanya perusahaan saja yang diuntungkan, sedangkan Aceh Besar
sebagai pemilik asset bahan baku tidak dapat meningkatkan pendapatan daerah
(PAD). Hal ini akan meningkatkan angka kemiskinan dan kerusakan yang tidak
sebanding dengan keuntungan yang didapat.
Galian
C yang beroperasi di sepanjang sungai
dan gunung-gunung di Kabupten Aceh Besar juga tidak terkontrol dengan
baik, sehingga kerusakan akibat erosi tidak tertanggulangi. Galian C juga tidak
menjadi penyumbang untuk PAD, walaupun sebagian besar galian C mengeruk
keuntungan dari perut bumi Aceh Besar.
Agar
semua perusahaan tambang dapat menjadi penyumbang bagi PAD untuk kesejahteraan
rakyat Aceh Besar maka diperlukan segera moratorium tambang untuk menilai
perusahaan-perusahaan yang layak untuk beroperasi. Proses ini sekaligus menjadi
awal penyusunan regulasi yang tegas untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan
yang akan dilakukan oleh perusahaan tambang hanya semata demi keuntungan
perusahaan.