Berdasarkan data yang
diperoleh Aceh News dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM
Aceh, disebutkan, nilai ekspor non migas Aceh tahun 2011 mencapai 103,9 juta
Dolar AS (hampir satu triliun rupiah-red). Sedangkan tahun sebelumnya hanya
63,9 juta dollar AS.
Kenaikan nilai yang
sangat signifikan itu dipengaruhi oleh komoditi kopi yang mengalami kenaikan harga
di pasaran dunia. ” Sedangkan volume ekspor kopi turun dari sebelumnya 7,854
ton menjadi 7,514 ton saja,” ungkap Nurdin, Kabid Perdagangan Luar dan Dalam
Negeri dinas tersebut, minggu lalu di ruang kerjanya saat di tanyakan
perkembangan perdagangan Aceh pada akhir tahun 2011.
Ekspor non migas
Aceh yang menjadi komoditi andalan pada tahun 2011 dari sektor pertanian yaitu,
Kopi Arabica, Kopi Luwak, Kelapa Bulat dan Kulit Kayu Manis. Angka tertinggi
nilai ekspornya adalah Kopi Arabica yang mencapai 50,49 juta dollar AS naik dari tahun sebelumnya yang hanya 29,75
juta dollar AS. Kemudian disusul Kelapa Bulat yang nilainya 37 ribu dollar AS,
Kulit Kayu Manis sekitar 17 ribu dollar AS dan terakhir Kopi Luwak dengan nilai
sekitar 14 ribu dollar saja.
Anehnya komoditi
Biji Coklat, komoditi unggulan di Aceh itu, pada tahun 2011 tidak tercatat lagi
sebagai komoditi ekspor dan belum diketahui apa penyebabnya. Padahal tahun
sebelumnya sempat di ekspor mencapai angka 421 Ton dengan nilai mencapai 1,17
juta dollar AS. Begitu juga komoditi pertanian lainnya seperti pinang, nasibnya
juga sama, tak tercatat lagi di pembukuan ekspor ’Pemerintah Aceh’. ” Padahal itu kan komoditi ekspor, tidak mungkin di kosumsi
semua,” tanya Nurdin dengan sedikit keheranan. Namun demikian,” Pada tahun 2011, ada tambahan komoditi
ekspor yakni kayu, jenis Akasia, namun
nilai dan volumenya tidak diketahui,” ujarnya lagi sambil meminta waktu untuk
melengkapi datanya.
Sedangkan komoditi
non migas di sektor industri, tahun 2011, Kopi Instant dan Bubuk Kopi Gongseng
tak lagi diekspor dan hanya Biji Besi, Ammoniac, Pupuk Urea dan Tras Curah saja
yang di ekspor. Biji Besi mengalami kenaikan nilai ekspor yakni 19,12 juta
dollar AS dari sebelumnya 7,83 juta dollar AS. Pupuk Urea juga menggila,
padahal cadangan Gas di Aceh menipis. Tahun 2011, Pupuk Urea mengalami kenaikan
nilai ekspor sampai 28,70 juta dollar AS dari tahun sebelumnya yang hanya
sekitar 6 juta dollar AS. Ammoniac turun, ditahun 2010, nilai ekspornya capai
8,3 juta dollar AS, kini hanya tersisa sekitar 5,5 juta dollar AS saja. Tras Curah juga turun dari nilai ekspornya 85 ribu dollar
AS menjadi 21,6 ribu dollar saja.
- MIGAS
Pasca MoU Helsinki,
nilai ekspor Migas (minyak dan gas) terus menurun. Dari pernyataan beberapa
pihak dikatakan terkait dengan menipisnya cadangan dan turunnya produksi. Pada
akhir tahun 2011, realisasi ekspor Migas Aceh hanya bernilai 858,6 juta dollar AS.
Padahal tahun sebelumnya mampu menebus angka 1,207 milyar dollar AS.
Komoditi ekspor
Migas Aceh tahun 2011 sama dengan tahun 2010, hanya terdiri dari 2 jenis saja,
yakni LNG dan Condensate. Nilai ekspor LNG turun jadi 772, 4 juta dollar AS
dari sebelumnya 1,159 milyar dollar AS. Namun berbeda dengan Condensate,
malahan meningkat jadi 86, 12 juta dollar AS, naik dari sebelumnya yang hanya
48,5 juta dollar AS.
Tahun 2006 saja,
ekspor Migas Aceh mencapai 3 milyar. Tahun berikutnya, 2007, turun sekitar 2,7 milyar
dollar AS. Padahal tahun 2005, sebelum terjadi perjanjian damai di Aceh, ekspor
Migas Aceh mampu menembus nilai 3,2 milyar dollar AS (hampir 30 triliun
rupiah).
Angka ekspor Aceh sangat
dipengaruhi oleh Migas, bila ekspor Migas turun, maka total realisasi ekspor
Aceh juga ikut menurun. Terhitung sejak tahun 2005 yang mencapai nilai 3,2 milyar
dollar AS, menjadi 3 milyar dollar AS di tahun 2006, dan turun lagi menjadi 2,8
milyar dollar AS di tahun 2007, dan terus menurun hingga 2011 yang tersisa
sekitar 962,5 juta dollar AS saja.
Pengamat
pembangunan, T.Fakhrurrazi, SE, menilai, turunnya ekspor Aceh dari tahun ke
tahun menandakan arah pembangunan Aceh selama ini tidak efektif. Hal tersebut
ikut dipengaruhi oleh mental pengelola pemerintahan yang makin terpuruk.
” Dari segi
anggaran yang telah dialokasikan bukanlah sedikit, sejak rebab rekon sampai
sekarang, rata-rata anggaran dialokasikan untuk pembangunan di sektor ekonomi
luar biasa besar. Namun nyatanya hasilnya nihil, kenapa? karena itu tadi, tidak
tepat sasaran dan sarat permainan,” ujar mantan Tenaga Ahli Monev BRR Aceh Nias
itu, jum’at lalu via ponsel ketika diminta pendapatnya terkait anjloknya ekspor
Aceh dari tahun ke tahun. Sedangkan pihak pemerintah daerah, hingga kini belum
mengeluarkan pernyataan resmi terkait anjloknya ekspor Aceh dari tahun ke
tahun.(BNC)