Gempa Rabu (11/04/2012)
lalu tidak saja mengejutkan warga Sumatera Barat, tapi hampir seluruh
masyarakat di Pulau Sumatera. Pada hari itu, terjadi dua kali gempa sangat
besar magnitudonya, yakni pukul 15.38 WIB berkekuatan 8,5 SR dan pada 17.43
WIB 8,1 SR. Perlu diketahui bahwa gempa di atas 8,0 SR adalah gempa tergolong
sangat dahsyat/raksasa.
Pada waktu itu, bahkan
sampai sekarang mungkin masih banyak orang menganggap kedua gempa besar ini
adalah gempa Simeulue, yang diasosiasikan dengan pusat gempa dahsyat 9,2 SR di
Aceh/Simeulue diikuti tsunami 26 Desember 2004 lalu.
Sebetulnya, kedua gempa
ini cukup jauh dari Pulau Simeulue. Gempa pertama berjarak ±700 km sebelah
barat pulau ini, sedangkan gempa kedua sedikit lebih jauh lagi dari Simeulue,
±750 km ke barat daya. Yang kedua ini lebih tepatnya berada di sebelah barat
Pulau Nias.
Kedua episentrum gempa
ini berjarak kurang lebih 900 km dari Padang.
Kedua gempa tadi pun berada
dalam satu lempeng, yakni lempeng Indo-Australia. Jadi, bukan di atas lempeng
yang bersubduksi (bertumbukan/menunjam) yang dipahami sebagian (banyak)
orang. Namun karena lokasi berdekatan dengan episentrum gempa adalah Pulau
Simeulue, orang menyebutnya gempa Simeulue. Karena itu, walau episentrum gempa
berada di Samudera Hindia yang bukan lagi wilayah Indonesia, dalam tulisan ini
kita pun menyebutnya gempa Simeulue (Aceh) saja.
Gempa yang terjadi bulan
lalu itu sebenarnya gempa intraplate, di mana mekanismenya
adalah pergerakan strike-slip fault yang terdapat di lempeng
Indo-Australia sebelah barat Pulau Simeulue dan Nias. Karena itu, meski
episentrum berada di dasar laut, kedalaman pusat gempa sangat dangkal, yakni 10
km di bawah permukaan laut dan kekuatan gempa juga (sangat) besar. Namun, tidak
terjadi tsunami. Sebab, ada satu syarat yang tidak terpenuhi untuk terjadinya
tsunami, yakni tidak ada pergerakan batuan di dasar laut secara vertikal. Pergerakan
atau deformasi batuan secara vertikal yang bisa menimbulkan tsunami biasanya
terjadi di daerah megathrust.
Meskipun tidak menimbulkan
tsunami, namun gempa tersebut betul-betul membuat banyak orang terkejut.
Sebagian malah ada yang panik. Bahkan, dampaknya masih terasa sampai sekarang.
Apalagi dengan beredarnya Surat Edaran Gubernur tanggal 27 April 2012, secara
eksplisit menyebutkan batas waktu (dua bulan) untuk bersiap siaga menghadapi
gempa dahsyat di megathrust Mentawai (segmen Siberut) yang
mungkin keluar akibat terpicu ”gempa Simeulue” 11 April 2012.
Gempa besar bulan lalu
itu juga membuat para pakar gempa sibuk. Bahkan sangat sibuk. Para pakar cukup
heran dengan kejadian ini. Sebab, jarang-jarang terjadi gempa intraplate terjadi
dua kali di tempat berdekatan dengan magnitudo di atas 8,0 SR. Kedua gempa
ini berkemungkinan sebagai lanjutan gempa 7,6 SR tanggal 11 Januari 2012,
atau persis tiga bulan sebelumnya. Karena gempa bulan lalu itu lebih besar
dari tiga bulan sebelumnya, maka gempa ini menjadi gempa utama. Para pakar
sibuk menganalisis berbagai kemungkinan dampak gempa ini terhadap potensi
gempa besar dari segmen Siberut disebut-sebut masih menyimpan energi besar
yang siap mengancam.
Ada dua kemungkinan dampak
dapat terjadi. Pertama, segmen Siberut tidak terpengaruh. Argumennya adalah
bahwa segmen Siberut berada cukup jauh dari pusat dan episentrum gempa
11-04-2012. Yang mungkin terpengaruh segmen Simeulue-Nias. Namun karena
siklus gempa besar di segmen ini sudah keluar tahun 2004/2005 lalu, akhirnya insya
Allah tidak akan timbul gempa besar dari segmen ini. Kedua, ada pengaruhnya
terhadap segmen Siberut. Alasannya adalah dengan mengingat bahwa gempa
bulan lalu itu sangat besar. Saking besarnya, sehingga seluruh Sumatera
terguncang. Kota Palembang yang jarang-jarang diguncang gempa, hari itu ikut
merasakannya.
Ini anehnya. Gempa raksasa
Simeulue/Aceh pada Tanggal 26-12-2004lalu, yang lebih besar (9,2 SR) dan lebih
dekat ke Pulau Sumatera tidak dirasakan sampai Palembang. Nah, karena besarnya
guncangan tersebut, bisa jadi kondisi segmen Siberut yang selama ini kurang stabil
akibat tumbukan lempeng (yang energinya belum lepas seluruhnya) akan menjadi
tidak stabil. Jadi, ada kemungkinan gempa besar Simeulue bulan lalu itu menjadi
pemicu lepasnya energi yang selama ini masih terkunci.
Dari dua kemungkinan tadi,
sebagai orang yang terlibat dalam upaya pengurangan risiko bencana, untuk
mitigasi dipilih kemungkinan terburuk. Artinya, kita harus bersiap siaga dalam
waktu-waktu mendatang. Kita memang harus siap siaga setiap saat, tapi dalam
dua sampai enam bulan sejak gempa bulan lalu kita harus lebih meningkatkan
kewaspadaan. Namun kewaspadaan yang dimaksud di sini bukan berupa
tindakan eksodus, sampai menjual murah rumah atau tempat usaha yang berada di
zona merah tsunami. Itu tidak proporsional.
Yang diperlukan,
misalnya, mengecek ulang perlengkapan tas/ransel siaga bencana, kalau-kalau
ada item penting kurang. Kemudian, dicek pula kondisi rumah, kestabilan lemari
(rak buku), dan lain sebagainya, termasuk pemahaman mengenai evakuasi dari
tsunami.
Khusus evakuasi ini, walaupun
sudah sangat sering disosialisasikan, perlu diulang kembali. Ada dua cara evakuasi
tsunami. Pertama, evakuasi horizontal. Kita pergi menjauhi pantai. Untuk masyarakat
Padang dan sekitarnya pergilah ke tempat berketinggian di atas 6 meter dari
permukaan laut. Kira-kira berjarak 1,5 – 2 km dari bibir pantai.
Untuk Pariaman, Painan
dan sekitarnya, dari hasil pemodelan diketahui ketinggian genangan maksimum
tsunami lebih tinggi satu meter dibanding Padang. Jadi, carilah tempat
berketinggian di atas 7 meter. Untuk evakuasi horizontal ini tidak disarankan
membawa kendaraan, terutama roda empat. Jalan-jalan yang ada tidak sanggup
menampung jumlah kendaraan.
Kedua, evakuasi
vertikal. Yakni, kita naik ke shelter atau bangunan bertingkat
meski di zona merah tsunami. Bagi masyarakat yang dekat tempat tinggalnya ada shelter atau
bangunan bertingkat, di mana ketinggian lantai-lantainya di atas 6 meter dari
permukaan laut, tidak usah repot-repot evakuasi horizontal. Terutama untuk
orang-orangtua, wanita dan anak-anak (balita).
Cara evakuasi ini perlu
untuk kita pahami lagi. Perlu diulang-ulang terus. Sebab, meskipun sudah banyak
yang tahu tentang cara evakuasi ini, namun ketika terjadi gempa bulan lalu,
karena panik banyak lupa tentang ilmu ini. Akibatnya, hampir semua orang
memilih evakuasi horizontal. Buktinya, banyak sekolah (shelter) atau
bangunan bertingkat di pusat kota Padang sepi. Sebaliknya, jalanan dipenuhi
warga evakuasi, dan terjadi kemacetan parah di zona merah.
Kesalahan warga yang hampir
semua memilih evakuasi horizontal diperparah dengan membawa kendaraan baik
roda dua maupun roda empat. Untung tidak terjadi tsunami waktu itu.
Seandainya terjadi tsunami, tidak dapat dibayangkan berapa banyak korban
jatuh. Belajar dari kesalahan evakuasi bulan lalu itu, diharapkan masyarakat
bisa cerdas merespons keadaan dengan tidak lagi mengulangi kesalahan yang
sebenarnya sudah sangat sering terjadi. Kecerdasan evakuasi akan lahir
apabila seseorang tidak panik.
Jadi, hindarkanlah diri
Anda dari kepanikan. Biasanya orang beriman dan bertakwa tidak mudah panik.
Penting juga dilakukan dalam rangka meningkatkan kesiapsiagaan, yaitu agar
masyarakat meningkatkan pemahaman dan pengamalan agamanya. Sebab, dengan
iman takwa yang mantap, selain dapat merespons dengan tenang setiap (ancaman)
bencana, bencana itu sendiri menurut Islam juga terkait kondisi keimanan masyarakat
itu sendiri (QS Al-A’raf: 96).
Penulis adalah: Badrul Mustafa
Dosen UNAND dan Ketua HAGI Sumbar