Headlines News :
Home » , , » Dampak Gempa Simeulue 11/04/2012

Dampak Gempa Simeulue 11/04/2012

Written By ichsan on Minggu, 20 Mei 2012 | 20.33


Gempa Rabu (11/04/2012) lalu tidak saja menge­jutkan warga Sumatera Barat, tapi hampir seluruh masyarakat di Pulau Sumatera. Pada hari itu, ter­jadi dua kali gempa sangat besar magnitudonya, yak­ni pukul 15.38 WIB berkekuatan 8,5 SR dan pada 17.43 WIB 8,1 SR. Perlu diketahui bahwa gempa di atas 8,0 SR adalah gempa tergolong sangat dahsyat/raksasa.

Pada waktu itu, bahkan sampai sekarang mungkin masih banyak orang menganggap kedua gempa besar ini adalah gempa Simeulue, yang diasosiasikan dengan pusat gempa dahsyat 9,2 SR di Aceh/Simeulue diikuti tsunami 26 Desember 2004 lalu.

Sebetulnya, kedua gempa ini cukup jauh dari Pulau Simeulue. Gempa pertama berjarak ±700 km sebelah barat pulau ini, sedangkan gempa kedua sedikit lebih jauh lagi dari Simeulue, ±750 km ke barat daya. Yang kedua ini lebih tepatnya berada di sebelah barat Pulau Nias.

Kedua episentrum gempa ini berjarak kurang lebih 900 km dari Padang.
Kedua gempa tadi pun be­ra­da dalam satu lempeng, yakni lempeng Indo-Australia. Jadi, bukan di atas lempeng yang bersubduksi (ber­tum­bukan/menunjam) yang dipa­hami se­bagian (banyak) orang. Na­mun karena lokasi ber­deka­tan dengan epi­sentrum gempa adalah Pulau Simeulue, orang menye­butnya gempa Simeulue. Karena itu, walau episentrum gempa berada di Samudera Hindia yang bukan lagi wilayah Indonesia, dalam tulisan ini kita pun me­nye­butnya gempa Simeulue (Aceh) saja.

Gempa yang terjadi bulan lalu itu sebenarnya gempa in­traplate, di mana me­kanis­menya adalah per­gerakan strike-slip fault yang terdapat di lempeng Indo-Australia sebelah barat Pulau Simeulue dan Nias. Karena itu, meski episentrum berada di dasar laut, kedalaman pusat gempa sangat dangkal, yakni 10 km di bawah permukaan laut dan kekuatan gempa juga (sangat) besar. Namun, tidak terjadi tsunami. Sebab, ada satu sya­rat yang tidak terpenuhi untuk terjadinya tsunami, yakni tidak ada pergerakan batuan di da­sar laut secara vertikal. Per­gerakan atau deformasi batuan sec­ara vertikal yang bisa me­nimbulkan tsunami biasanya terjadi di daerah megathrust.

Meskipun tidak me­nim­bulkan tsunami, na­mun gem­pa tersebut betul-betul mem­buat banyak orang ter­kejut. Sebagian malah ada yang pa­nik. Bahkan, dam­paknya m­a­sih terasa sampai se­karang. Apalagi dengan bere­darnya Surat Edaran Gubernur tang­gal 27 April 2012, secara eks­plisit menyebutkan batas wak­tu (dua bulan) untuk bersiap siaga menghadapi gempa dah­syat di megathrust Mentawai (seg­men Siberut) yang mung­kin keluar akibat terpicu ”gem­pa Simeulue” 11 April 2012.
Gempa besar bulan lalu itu juga membuat para pakar gempa sibuk. Bahkan sangat sibuk. Para pakar cukup heran dengan kejadian ini. Sebab, jarang-jarang terjadi gempa intraplate terjadi dua kali di tem­pat berdekatan dengan mag­nitudo di atas 8,0 SR. Ke­dua gempa ini ber­kemung­kinan sebagai lanju­tan gempa 7,6 SR tanggal 11 Januari 2012, atau persis tiga bulan sebe­lumnya. Karena gempa bulan lalu itu lebih besar dari tiga bulan sebelumnya, maka gem­pa ini menjadi gempa uta­ma. Para pakar sibuk me­nganalisis berbagai kemungkinan dam­pak gempa ini terhadap poten­si gempa besar dari seg­men Siberut disebut-sebut masih me­nyimpan energi besar yang siap mengancam.

Ada dua kemungkinan dam­­pak dapat terjadi. Per­ta­ma, segmen Siberut tidak ter­pe­ngaruh. Argumennya adalah bah­wa segmen Siberut berada cu­kup jauh dari pusat dan epi­sentrum gempa 11-04-2012. Yang mungkin terpe­ngaruh seg­men Simeulue-Nias. Na­mun karena siklus gempa be­sar di segmen ini sudah keluar tahun 2004/2005 lalu, ak­hirnya insya Allah tidak akan timbul gempa besar dari seg­men ini. Kedua, ada pe­nga­ruh­nya terhadap seg­men S­ib­e­rut. Alasannya adal­ah dengan me­ngingat bah­wa gem­pa bu­lan lalu itu sangat besar. Saking be­sarnya, sehingga selu­ruh Su­matera terguncang. Kota Pa­lembang yang jarang-jarang diguncang gempa, hari itu ikut merasakannya.

Ini anehnya. Gempa rak­sasa Simeulue/Aceh pada Tanggal 26-12-2004lalu, yang lebih besar (9,2 SR) dan lebih dekat ke Pulau Su­ma­tera tidak dirasakan sam­­pai Palembang. Nah, ka­rena be­sar­nya guncangan tersebut, bisa jadi kondisi segmen Sibe­rut yang selama ini kurang stabil akibat tumbukan lem­peng (yang energinya be­lum le­pas seluruhnya) akan men­jadi tidak stabil. Jadi, ada ke­mungkinan gempa besar Si­meu­lue bulan lalu itu men­jadi pemicu lepasnya energi yang selama ini masih ter­kunci.

Dari dua kemungkinan ta­di, sebagai orang yang ter­libat dalam upaya pe­ngurangan risiko bencana, untuk mitigasi dipilih kemungkinan terburuk. Artinya, kita harus bersiap sia­ga dalam waktu-waktu men­datang. Kita memang harus siap siaga setiap saat, tapi da­lam dua sampai enam bulan sejak gempa bulan lalu kita ha­rus lebih mening­kat­kan ke­was­padaan. Namun ke­was­pa­daan yang dimaksud di sini bu­kan berupa tindakan ek­sodus, sampai menjual mu­rah rumah atau tempat usaha yang berada di zona merah tsunami. Itu tidak proporsional.

Yang diperlukan, misalnya, mengecek ulang perlengkapan tas/ransel siaga bencana, ka­lau-kalau ada item penting ku­rang. Kemudian, dicek pula kon­disi rumah, kestabilan le­mari (rak buku), dan lain s­e­bagainya, termasuk pe­ma­haman menge­nai evakuasi dari tsunami.

Khusus evakuasi ini, wa­lau­pun sudah sangat sering disosialisasikan, perlu diulang kem­bali. Ada dua cara eva­kuasi tsunami. Pertama, eva­kuasi horizontal. Kita pergi menjauhi pantai. Untuk mas­yarakat Padang dan sekitarnya per­gilah ke tempat berke­ting­gian di atas 6 meter dari per­mu­kaan laut. Kira-kira ber­ja­rak 1,5 – 2 km dari bibir pantai.

Untuk Pariaman, Painan dan sekitarnya, dari hasil pe­mo­delan diketahui keting­gian genangan mak­simum tsunami lebih tinggi satu meter diban­ding Padang. Jadi, cari­lah tempat berketinggian di atas 7 meter. Untuk evakuasi horizontal ini tidak disarankan mem­bawa kendaraan, teru­ta­ma roda empat. Jalan-jalan yang ada tidak sanggup me­nam­pung jumlah kendaraan.

Kedua, evakuasi vertikal. Yakni, kita naik ke shelter atau bangunan bertingkat meski di zona merah tsunami. Bagi masyarakat yang dekat tempat tinggalnya ada shelter atau bangunan bertingkat, di mana ketinggian lantai-lantainya di atas 6 meter dari permukaan laut, tidak usah repot-repot evakuasi horizontal. Terutama untuk orang-orangtua, wanita dan anak-anak (balita).

Cara evakuasi ini perlu untuk kita pahami lagi. Perlu diulang-ulang terus. Sebab, meskipun sudah banyak yang tahu tentang cara evakuasi ini, namun ketika terjadi gempa bulan lalu, karena panik ba­nyak lupa tentang ilmu ini. Akibatnya, hampir semua orang memilih evakuasi horizontal. Buktinya, banyak sekolah (shelter) atau bangunan ber­tingkat di pusat kota Padang se­pi. Sebaliknya, jalanan dipe­nuhi warga evakuasi, dan ter­jadi kemacetan parah di zona merah.

Kesalahan warga yang ham­pir semua memilih eva­kuasi ho­rizontal diperparah dengan mem­bawa kendaraan baik roda dua maupun roda em­pat. Un­tung tidak terjadi tsunami wak­tu itu. Seandainya terjadi tsuna­mi, tidak dapat dibayangkan be­rapa banyak korban jatuh. Be­lajar dari kesalahan evakuasi bu­­lan lalu itu, diharapkan mas­ya­rakat bisa cerdas meres­pons ke­ada­an dengan tidak lagi me­ngu­­langi kesalahan yang se­benar­nya sudah sangat se­ring ter­jadi. Kecerdasan evakuasi akan lahir apabila seseorang tidak panik.

Jadi, hindarkanlah diri Anda dari kepanikan. Biasanya orang ber­iman dan bertakwa tidak mu­dah panik. Penting juga di­lakukan dalam rangka me­ning­katkan kesiapsiagaan, yaitu agar masyarakat mening­katkan pe­ma­haman dan pe­nga­malan aga­manya. Sebab, de­ngan iman takwa yang man­tap, selain dapat me­respons de­ngan tenang setiap (an­caman) bencana, ben­cana itu sendiri menurut Islam juga terkait kondisi keimanan mas­yarakat itu sendiri (QS Al-A’raf: 96).

                                                                        Penulis adalah: Badrul Mustafa
                                                             Dosen UNAND dan Ketua HAGI Sumbar

Share this article :
 
Support : Redaksi | Iklan | Copyright © 2011. Aceh News - All Rights Reserved
Modify by Arifa