Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung telah menjadi bagian
tidak terpisahkan dalam pembangunan demokrasi di Indonesia. Konsolidasi
demokrasi di tingkat lokal diyakini menjadi bagian yang krusial dalam
mewujudkan konslidasi tingkat nasional secara lebih kokoh dan demokratis. Dan
pasca dimasukkannya Pilkada sebagai bagian dari rezim Pemilu, yang selanjutnya
dikenal dengan Pemilukada, kembali menguatkan peran dan fungsinya sebagai
bagian pokok proses demokratisasi di Indonesia.
Pilihan
untuk memaknai ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi “Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, Kabupaten dan kota
dipilih secara demokratis” dengan memilih mekanisme pemilihan secara
langsung sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah merupakan pilihan yang sangat tepat dalam mengelola masa transisi
Indonesia dari era otoritarian ke era demokratisasi yang sesungguhnya .
pemilihan kepala daerah pun semakin baik kualitasnya setelah Mahkamah Konstitusi
memutus bahwa kesertaan calon perseorangngan merupakan suatu keniscayaan yang
mana putusan ini lalu dilakukan dengan keluarnya UU No.12Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No.32
Tahun 2004.
Meskipun
demikian harus diakui masih banyak permasalahan dalam Pemilikada baik pada
periode pertama maupun periode kedua
penylenggaraanya. Permasalahan tersebut meliputi, Pertama, permasalahan dari kerangka hokum yang masih menyisahkan
berbagai kesimpang siuran maupun ketidakjelasan bagi penyelenggara, peserta,
maupun pemilih dalam pemaknaannya, yang tak jarang berakibat pada konflik dan
gangguan keamanan dilapangan. Aturan yang ambigu dan multitafsi akhirnya
berkontribusi pada rentetan persoalan dalam penyelenggaraan tahapan Pemilukada,
sebut saja masalah karut marutnya daftar pemilih, kisruh pencalonan, kampanye
yang tidak terkontrol, sampai pemungutan dan penghitungan suara yang
bermasalah.
Kedua, masalah sistem
pemilihan dan metode pencalonan. Sistem pencalonan memberikan ruang bagi partai
politik, gabungan partai politik, dan calon perseorangan untuk memajukan calon
melahirkan begitu banyak kandidat yang lantas diikuti dengan problematika
berikut biaya penyelenggaraan yang mahal dan politik biaya tinggi (atau politik
uang).
Pokok
tugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah mengatur bagaimana agenda perebutan
kekuasaan tadi berlangsung secara baik sesuai dengan jadwal waktu yang telah
ditetapkan. Pun, lingkup tugas KPU ialah menjamin agar perebutan kekuasaan
tersebut berlangsung dengan derajat kompetisi yang sehat, partisipatif,
keterwakilan yang lebih tinggi, serta mendorong mekanisme akuntabilitas yang
jelas. Bagi pengawas pemilu, pokok tugasnya masih perlu ditambah, yakni demi
menjamin suatu perebutan kekuasaan berlangsung secara beradab, berbasis pada
asas langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil, disamping
dimungkinkannya proses pemilu dalam kepatuhan seluruh peraturan
perundang-undangan yang mengatur pemilu.
Dengan
demikian tugas, wewenang dan kewajiban pengawas pemilu sungguh berat. Artinya,
pemilu tidak bisa dibiarkan berlangsung secara kurang beradab dan berantakan.
Karena amat berisiko bila penyelenggaran pemilu tanpa kontrol. Maka sudah selayaknya
bila ia dikontrol dan diawasi. Karena tanpa pengawasan dan control, sama-sama
dengan kita mendorong penyelundupan pelanggaran atau kesalahan. Itulah
demokrasi sejati yang menuntut check and balance system pemilu. Karena ternyata
pemilu di Indonesia masih saja diwarnai pelanggaran dan kecurangan. Tidak saja
dilakukan oleh peserta pemilu, namun juga oleh
peserta pemilu, namun juga oleh bahkan penyelenggaranya sendiri.
Oleh Aswim AG Kabiro Gayo Lues