CERPEN:
Kicauan burung terdengar pada suatu petang di sepajang jalan yang membelah gunung itu, bersisian dengan hamparan hijau pohon hingga ke kaki langit. Indahnya alam menggugah hati,, semua itu ku nikmati saat aku pulang menghantarkan seorang gadis sebut saja namanya Miranda, di waktu sore menjelang malam. Kala itu dia belum tersentuh dengan kemajuan zaman. Tapi kini………
Walaupun pada waktu itu dia juga sudah duduk di bangku kuliah terkemuka di sebuah kota besar Indonesia. Tapi gadis lugu itu belum tersentuh dengan kemajuan zaman yang penuh dusta. Kala itu kami masih menjalin cinta, meski jarak, tapi tak mengapa. Walaupun kami pacaran pada masa itu, tapi dalam hatiku masih ada seorang wanita lain, yang memang tidak bisa kulupakan, meski aku dan wanita itu tiada kabar dan berita.
Menjelang Miranda semester lima hubungan kami mulai renggang sedikit demi sedikit. Hingga akhirnya kita terputus komunikasi yang belakangan kutahu gara-gara kedua kami hilang nomor handphone. Kutak tau entah kenapa.
Di antara aku dan dia sudah tiada komuniksi lagi hampir setahun, lalu tiba-tiba aku menemukan nomor handphone terselip di dalam lemari. Nomor yang Miranda tulis di kertas yang diberikan saat kami perkenalan pertama.
Kemudian aku mencoba hubungi kembali, dalam obrolan itu Miranda marah-marah, dan gadis cantik itu mengatakan akan berfokus ke kuliah dulu, kala itu bagi dia hubungan kami hanya sebatas seorang adik dan kakak.
Miranda sudah mendekati selesai kuliah, aku menyambangi ke kota tempat yang ia tinggal untuk menimba ilmu. Selepas aku pulang, wanita berkulit kuning langsat itu, melalui via handphone mengatakan dia masih mencintai aku. Walaupun di ujung cerita yang ngolor-ngidul itu tidak berbuah hasil.
Hubungan kami hanya sebegitu saja. Pada suatu malam Miranda menelpon aku, kali ini dia ingin menceritakan sesuatu, yang memang tidak pernah ia ceritakan sama kawan-kawan sebangku kuliah, atau sama siapapun kecuali aku.
Dalam pembicaraan itu, dia menangis tersedu-sedu, kenapa tidak? Karena Miranda telah melakukan hubungan terlarang layaknya suami-istri. Dia melakukan itu selepas aku meninggalkan kotanya. Miranda bercerita, ia berkenalan dengan seorang lelaki tampan, sok baik, dan berhati mulia, tapi itu semua tiada.
Pada suatu malam Miranda jalan-jalan dengan pemuda yang berkenalan dengannya, malam sudah larut, hujan mengguyur kota besar itu, keduanya tidak bisa pulang lagi, kemudian Miranda diajak nginap di rumah kawan lelaki itu. Miranda pun tidak menolak tawaran, karena menurut dia lelaki yang bersamanya tidak mungkin jahat. Ternyata kesempatan dalam kesempitan tersebut, tidak disia-siakan lelaki brengsek itu, kata Miranda.
Keperawanan Miranda, diambil paksa oleh lelaki tampan. kala itu Miranda seperti orang berjalan di pematang sawah dengan tertatih-tatih, ia sepertinya ingin bunuh diri saja, sebab Miranda tak habis pikir dengan kejadian yang menimpanya, padahal keinginan Miranda lelaki pertama yang menikmati itu semua adalah suaminnya. Tapi, pemuda yang melahab paksa perawan Miranda kini tak tau kemana rimbanya. “sungguh menyesal ,” kata gadis berperawakan sedang itu.
Ketika aku mendengar perkataan itu, gigi aku gemerentak, pikiranku galau membahana, meski dia adalah bekas pacarku. Teringat ketika saya menggamit tangannya di sebuah pantai, saat itu kami sangat bahagia, tapi kini semua sirna begitu saja.
Lalu Miranda berkata, “kalau abang menikah nanti, kasih tau ya. Biarpun aku tidak sanggup meghadiri pesta perkawinan itu, karena aku tidak rela abang didampingi wanita lain.”
Tapi kata Miranda lagi, sudahlah semua itu telah terlanjur, tidak ada lelaki satu pun yang mau menerima aku, jika dia tahu perawanku sudah hilang, kini aku malu pada diri sendiri, dan aku merasa bersalah pada suamiku nanti, tapi ya sudahlah aku tak tau harus berbuat apa. penyesalan memang selalu datang terlambat, gugat wanita itu.
Cerpen
Oleh Zubir Alue Puteh