Mau tidak mau, aku harus mengakuinya. Siapa diri ini sebenarnya?. Memang sungguh berat untuk mengakuinya, tapi tetap harus ku perjelas sama teman sejawatku. Yaitu: aku seorang pecundang. Karena aku tidak bisa memberikan yang terbaik bagi temanku. Ketika kamu sekarat aku tidak bisa membantumu, padahal ketika aku sekarat kamu selalu hadir di sampingku.” Aku tidak bisa membantumu, ketika engkau berhadapan dengan musuh, ku takut jika aku senasib denganmu juga, siapa yang menanggung beban hidup anak dan istriku?.”
Dalam temaram, sebelum matahari keluar di ufuk timur, aku terduduk setelah menyelesaikan kewajibanku sebagai umat muslim.. air mataku, mebasahi kedua pipi ini.. engkau hadir di dalam memori ini, saat-saat engkau melambaikan tanganmu ke arahku.. engkau berkata” selamat tinggal kawan.”
Perih mata ini, ketika aku bersembunyi di balik kardus bertumpuk itu. Tak bisa ku berbuat banyak. Ketika sibadan kekar itu menikammu.. jeritan tangisanmu membuat hatiku gugur seakan tak mekar lagi.. setahun setelah kejadian itu merenggut nyawamu, aku mencoba bangkit dari keterpakuanku selama kejadian kala itu.
Sering kutitip do’a lewat ucapan mula Bismillahirahmanirrahim. Tapi, apakah do’aku itu berarti bagimu, atau tidak pernah menyambangimu sama sekali?. Andai aku bisa melihatmu dan bertatap muka ceria seperti kala dulu, aku pasti akan bahagia yang tak tertukar dengan rupiah.
Kini, putra pertamaku, juga telah kembali ke alam sana, aku sangat kehilangan,, serasa percuma aku ada di dunia ini, tanpa kalian semua. Ternyata tanpa kalian, aku bukanlah apa-apa.
Pertengahan 2009 lalu, ku jumpa dengan seorang kawan, dia mebagi cerita tentang kebesaran Allah, hingga aku sadar, betapa pentingnya kawan itu, bahkan hingga sama berartinya dengan diri kita sendiri..” aku kangen kalian.” [A]
Cerpen ini ditulis Oleh: Fery Lhokseumawe
